Sabtu, 06 September 2014

KOTA TAPAKTUAN ACEH, ANTARA KEINDAHAN ALAM DAN CERITA RAKYATNYA

Kota Tapaktuan yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan ini mempunyai luas 92,68 kilometer persegi dan mempunyai jumlah penduduk sekitar 22,343 jiwa. Pada saat bencan sunami tahun 2004 kota ini terlindung oleh Pulau Simeulue yang memecah ombak yang dahsyat dan mengurangi intensitas ombak sampai ke pesisir pantai. Kota ini menyimpan cerita legenda naga dan kenekaragaman wisata yang masyarakat belum banyak yang mengetahui.

Kota ini termasuk dalam kota iklim tropis basah karena berada diketinggian 500 mdpl, memiliki keanekaragaman keindahan alam, teluk yang indah dan gugusan pantai berkarang. Berbagai keindahan destinasi wisata ada disini seperti Pantai Teluk Tapaktuan dan Pantau Labuhan Haji. Selain itu ada juga wisata menarik lainnya. Yaitu, Wisata Air Dingin, Panorama Hatta, Pulau Dua, Genting Buaya, Ia Sejuk Panjupian, Air Terjun Twi Lhok, Batu Berlayar, atau Gua Kalam.
Kota Tapaktuan juga yang lebih dikenal dengan Kota Naga berasal dari sebuah legenda Putri Naga dan Tuan Tapa. Cerita legenda itu sudah menjadi cerita lisan secara turun menurun bagi warga Kota Tapaktuan. Suasana tersebut juga akan terasa sejak kita memasuki Kota Tapaktuan, sebuah lukisan naga yang terpampang di suatu tembok pinggir jalan.

Legenda tersebut mengisahkan 2 ekor naga yang diusir dari Tiongkok karena tidak mempunyai keturunan. Sepasang naga tersebut mendiami sebuah teluk yang sekarang terkenal dengan Teluk Tuantapa. Suatu hari sepasang naga tersebut menemukan seorang bayi perempuan yang terapung ditengah lautan, kemudian sepasang naga merawat bayi tersebut dengan kasih sayang dan beranjak dewasa menjadi seorang putri yang cantik. Suatu ketika datanglah sebuah kapal dari Kerajaan Asranaloka dari India yang dahulu telah kehilangan putrinya, sang raja mengenali gadis tersebut sebagai bayinya yang dulu terhanyut terbawa air laut dan hendak memintanya kembali kepada sepasang naga. Tetapi sepasang naga menolak dan terjadi sebuah perkelahian antara raja dan sepasang naga tersebut. Dalam perkelahian tersebut, Tuan Tapa yang terusik dalam pertapaannya mencoba melerai perkelahian dan meminta kepada sang naga untuk mengembalikan putri tersebut. Akan tetapi sepasang naga menolak dan mengajak bertarung Tuan Tapa. Terjadilah perkelahian antara Tuan Tapa, sepasang naga dan sepasang naga pun kalah dan sang putri dikembalikan kepada orang tuanya. Putri tersebut dijuluki sebagai Putri Naga dan kembali bersama keluarga, akan tetapi keluarga raja tidak kembali ke Kerajaan Asranaloka melainkan menetap di pesisir pantai. Keberadaan mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tuantapa.

Naga jantan mati terbunuh dengan tubuh yang hancur, hati dan tubuhnya hancur membentuk batuan hitam yang berbentuk hati dan kini dikenal dengan batu Hitam. Darah nagapun berubah menjadi batu yang dikenal dengan batu Merah. Tuan Tapa pun juga meninggalkan jejak kaki yang sekarang masih ada dipesisir pantai, tongkat dan sorbanya membatu hitam beberapa ratus meter dari jejak kakinya. Melihat naga jantan mati, naga betina mengamuk dan membelah pulau menjadi dua yang sekarang dikenal dengan Pulau Dua. Pulau Terbesarpun menjadi sasaran naga amukan naga betina dan memporak-porandakan pulau tersebut menjadi 99 pulau kecil. Gugusan Pulau kecil tersebut dinamakan Pulau Banyak yang berada di Kabupaten Aceh Singkil.

Setelah kejadian itu, Tuan Tapa jatuh sakit, kemudian meninggal pada Ramadhan tahun 4 Hijriyah. Jasadnya dikebumikan di dekat Gunung Lampu, di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan. Sampai sekarang ini makam keramat itu sering dikunjungi peziarah dari dalam dan luar negeri. Makamnya sendiri mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar